Playlist

Kamis, 07 Agustus 2014

Kisah si penjual buah - Menjadikan kehilangan sebagai sedekah

Selasa 3 Ramadhan 1435 H. Waktu menunjukan pukul 11.30 WIB. Kami (saya dan Ibu) berada disebuah pasar di daerah Brebes. Setelah melakukan transfer di salah satu Bank kemudian kami biasa mampir ke sebuah warung buah-buahan. Saya hendak membeli buah alpukat. Warung ini memang sudah menjadi langganan kami. Buahnya bermacam-macam lagi harganya cukup miring. Setelah sampai di warung buah tersebut. Pandangan kami sedikit aneh. Sambil memilih alpukat, saya dan ibu saya saling memandang. Ibu saya mengangkat bahunya dan diikuti saya. Ada yang berbeda dengan ibu penjual buah. Lantas saya bertanya kepada ibu penjual berapa harga alpukat perkilo. Lantas ibu itu bangun dari perseduannya. Air matanya menetes. Matanya sangat sembab. Ya Allah ternyata dari tadi ibu itu berjongkok dan menunduk ternyata sedang menangis. Ada apa gerangan dengan si Ibu ini. Kembali saya dan Ibu saya saling memandang. Sungguh kami merasa bersalah. Apa Ibu itu menangis gara-gara kedatangan kami. Ah. Tapi itu tidak mungkin. Bahkan ibu itu masih mau menjawab pertanyaan saya. Saya menghela nafas panjang. Tak sanggup melihatnya. Yang berkali-kali mengisak tangis. Sambil mengusap pipinya dengan kerudungnya. Merasa ada yang aneh akhirnya ibu saya bertanya kepada ibu tadi.

“Bu, wonten nopo?. Ko panjenengan nangis?”
“ Kula bar kena rampok, Bu.” Matanya kembali mengucurkan air mata lebih deras lagi.
“Astagfirullah” kami tak henti beristighfar

Mata kami memandang ke segala arah. Dan kembali berpikir. Bagaimana mungkin ditempat seramai ini sampai ada perampokan.
“Pinten Bu?”, tanyaku pada Ibu penjual itu
“Limalas juta”, jawab si Ibu tadi dengan suara tersedu
Astagfirullah, tega sekali pencuri itu.
“Teng pundi Ibu nyimpen artonipun”
Ibu itu tak menjawab hanya menunjuk sebuah tong kayu yang ada disampingnya. Sepertinya ia tak sanggup mengingat kembali tempat itu.
“Biasane ora papa. Surat-surat kabeh ana ning kono mbak. Astagfirullah”. Sambil menangis ia mencoba membagi apa yang ia derita saat itu.
Tak terasa mata berkaca-kaca. Juga ibu. Saya dan ibu mencari keberadaan polisi disekitar. Kebetulan dibank sebelah ada Polisi jaga. Ternyata kejadian tersebut luput dari pengetahuan Polisi. Sehingga Pak Polisi tak bisa bertindak dengan cepat.
Dari penuturan ibu penjual ternyata si pencuri tadi sudah mengintainya lama. Dengan berpura-pura menjadi pembeli. Ia duduk agak lama di belakang ibu penjual. Dan rupanya dengan memanfaatkan kelengahan ibu tadi si Pencuri berhasil menggondol uang 15 juta dan surat-surat berharga.
Kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kami lakukan adalah mendoakan ibu tadi agar diberi kesabaran dan keikhlasan.
“Sampun Bu. Sampun. Mungkin niku sanes rejekinipun Ibu. Mungkin niku rejekine sing mundut. Anggep mawon sedekah nggih Bu. Sampun ngrasa kelangan. In sya Allah gusti Allah ngganti sing luweh akeh. Sing penting ibu diparingi sehat lan selamet. Duit saged diluruh malih Bu..sabar..sabar..”
Aaminn Ya Allah. Saya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu saya. Betapa bijaknya beliau.
Ibu itupun kembali melayani pelanggan-pelanggannya. Meski matanya masih sembab, tapi ia selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggannya. Ya Allah rahmatilah ia. Berikan rizki yang halal yang berkah dalam hidupnya. Semoga Kau menggantinya dengan yang lebih baik. Aamiin..


Teman-teman, saudaraku yang saya sayangi karena Allah.
Kejadian diatas terjadi pada bulan puasa. Tepatnya dihari ketiga.
Dimana saat itu kita sedang bersemangat melakukan ibadah puasa.
Namun disisi lain. Ada juga saudara-saudara kita yang sedang sibuk berbuat dosa.
Aktivitas berjudi, minum-minum, mencuri, berzina, bahkan membunuh masih saja ada dibulan penuh rahmat tersebut.
Begitulah yang kadang tak terlihat oleh mata kita. Kehidupan di masyarakat yang sebenarnya sangat kompleks dan rumit. Selama dibangku kuliah kita berusaha berdakwah kepada  masyarakat terdidik. Mungkin tak terlalu banyak rintangan yang kita hadapi. Meskipun berat juga dakwah kampus. Tapi. Suatu saat kita akan berhadapan dengan masyarakat. Disanalah medan yang sesungguhnya baru kita mulai. Kejadian diatas termasuk yang paling ekstrem karena kurangnya kontrol dan peran nilai-nilai islam pada diri masyarakat kita. Saya pun sangat menyadari hal itu. Betapa pentingnya peranan orang-orang baik yang mau berbuat untuk masyarakat yang harmonis dan beretika.
Mungkin saat ini kita tak mampu berbuat leluasa untuk mengajak masyarakat ke arah perubahan yang lebih baik. Tapi jika kita selalu merasa tidak mampu lantas kapan kita mampu.
Mulai dari hal terkecil yang bisa kita lakukan tanpa keluh kesah. Kita mulai dengan memperbaiki akhlak kita, keluarga kita, teman-teman kita. Dan selanjutnya orang lain.

Saudaraku yang dirahamati Allah SWT.
Betapa malangnya ibu penjual tadi. Ia mengumpulkan hasil penjualannya dari hari ke hari. Dan disaat yang sungguh tak terduga. Ia harus kehilangan apa yang sudah ia kumpulkan selama ini.
Bukankan ini memberi nasihat kepada kita agar mampu mengikhlaskan apa yang telah kita usahakan. Bagaimana menjadikan sesuatu yang hilang, sebetulnya tidak hilang karena kita anggap sebagai sedekah. Tentunya hanya Allah lah yang akan membalas kebaikan kita tersebut. Sama seperti kita berdakwah. Kita wajib menuntut ilmu sebagai bekal kita. Dan suatu saat kau harus memberikan ilmu itu dengan ikhlas. Ilmu yang kita berikan tak akan hilang. Karena ia merupakan bentuk sedekah kita untuk orang lain. Karena ada hak orang lain yang harus memperolehnya.

Dan pelajaran yang selanjutnya adalah sifat bijak yang dimiliki Ibu kita.
Saudaraku yang Allah sayangi.
Ibu adalah sumber kebijaksanaan. Allah menitipkan sifat rahman-Nya kepada seorang Ibu.
Dalam keadaan apapun. Ibu selalu bisa membuat suasana jauh lebih rindang.
Jika kita ingin belajar menjadi orang bijak belajarlah dari Ibu kita. In sya Allah...  

Juga pelajaran untuk kita agar berhati-hati dalam keadaan apapun. Meski dalam keadaan sepi atau ramai sekalipun kita tetap waspada. Mintalah perlindungan Allah..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar