Selasa 3 Ramadhan 1435 H. Waktu menunjukan pukul 11.30 WIB.
Kami (saya dan Ibu) berada disebuah pasar di daerah Brebes. Setelah melakukan
transfer di salah satu Bank kemudian kami biasa mampir ke sebuah warung
buah-buahan. Saya hendak membeli buah alpukat. Warung ini memang sudah menjadi
langganan kami. Buahnya bermacam-macam lagi harganya cukup miring. Setelah
sampai di warung buah tersebut. Pandangan kami sedikit aneh. Sambil memilih
alpukat, saya dan ibu saya saling memandang. Ibu saya mengangkat bahunya dan
diikuti saya. Ada yang berbeda dengan ibu penjual buah. Lantas saya bertanya
kepada ibu penjual berapa harga alpukat perkilo. Lantas ibu itu bangun dari
perseduannya. Air matanya menetes. Matanya sangat sembab. Ya Allah ternyata
dari tadi ibu itu berjongkok dan menunduk ternyata sedang menangis. Ada apa
gerangan dengan si Ibu ini. Kembali saya dan Ibu saya saling memandang. Sungguh
kami merasa bersalah. Apa Ibu itu menangis gara-gara kedatangan kami. Ah. Tapi
itu tidak mungkin. Bahkan ibu itu masih mau menjawab pertanyaan saya. Saya menghela
nafas panjang. Tak sanggup melihatnya. Yang berkali-kali mengisak tangis. Sambil
mengusap pipinya dengan kerudungnya. Merasa ada yang aneh akhirnya ibu saya
bertanya kepada ibu tadi.
“Bu, wonten nopo?. Ko panjenengan nangis?”
“ Kula bar kena rampok, Bu.” Matanya kembali mengucurkan air
mata lebih deras lagi.
“Astagfirullah” kami tak henti beristighfar
Mata kami memandang ke segala arah. Dan kembali berpikir.
Bagaimana mungkin ditempat seramai ini sampai ada perampokan.
“Pinten Bu?”, tanyaku pada Ibu penjual itu
“Limalas juta”, jawab si Ibu tadi dengan suara tersedu
Astagfirullah, tega sekali pencuri itu.
“Teng pundi Ibu nyimpen artonipun”
Ibu itu tak menjawab hanya menunjuk sebuah tong kayu yang
ada disampingnya. Sepertinya ia tak sanggup mengingat kembali tempat itu.
“Biasane ora papa. Surat-surat kabeh ana ning kono mbak.
Astagfirullah”. Sambil menangis ia mencoba membagi apa yang ia derita saat itu.
Tak terasa mata berkaca-kaca. Juga ibu. Saya dan ibu mencari
keberadaan polisi disekitar. Kebetulan dibank sebelah ada Polisi jaga. Ternyata
kejadian tersebut luput dari pengetahuan Polisi. Sehingga Pak Polisi tak bisa
bertindak dengan cepat.
Dari penuturan ibu penjual ternyata si pencuri tadi sudah
mengintainya lama. Dengan berpura-pura menjadi pembeli. Ia duduk agak lama di
belakang ibu penjual. Dan rupanya dengan memanfaatkan kelengahan ibu tadi si
Pencuri berhasil menggondol uang 15 juta dan surat-surat berharga.
Kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kami lakukan
adalah mendoakan ibu tadi agar diberi kesabaran dan keikhlasan.
“Sampun Bu. Sampun. Mungkin niku sanes rejekinipun Ibu.
Mungkin niku rejekine sing mundut. Anggep mawon sedekah nggih Bu. Sampun ngrasa
kelangan. In sya Allah gusti Allah ngganti sing luweh akeh. Sing penting ibu
diparingi sehat lan selamet. Duit saged diluruh malih Bu..sabar..sabar..”
Aaminn Ya Allah. Saya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu
saya. Betapa bijaknya beliau.
Ibu itupun kembali melayani pelanggan-pelanggannya. Meski
matanya masih sembab, tapi ia selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik
untuk pelanggannya. Ya Allah rahmatilah ia. Berikan rizki yang halal yang
berkah dalam hidupnya. Semoga Kau menggantinya dengan yang lebih baik. Aamiin..
Teman-teman, saudaraku yang saya sayangi karena Allah.
Kejadian diatas terjadi pada bulan puasa. Tepatnya dihari
ketiga.
Dimana saat itu kita sedang bersemangat melakukan ibadah
puasa.
Namun disisi lain. Ada juga saudara-saudara kita yang sedang
sibuk berbuat dosa.
Aktivitas berjudi, minum-minum, mencuri, berzina, bahkan
membunuh masih saja ada dibulan penuh rahmat tersebut.
Begitulah yang kadang tak terlihat oleh mata kita. Kehidupan
di masyarakat yang sebenarnya sangat kompleks dan rumit. Selama dibangku kuliah
kita berusaha berdakwah kepada
masyarakat terdidik. Mungkin tak terlalu banyak rintangan yang kita
hadapi. Meskipun berat juga dakwah kampus. Tapi. Suatu saat kita akan
berhadapan dengan masyarakat. Disanalah medan yang sesungguhnya baru kita
mulai. Kejadian diatas termasuk yang paling ekstrem karena kurangnya kontrol
dan peran nilai-nilai islam pada diri masyarakat kita. Saya pun sangat
menyadari hal itu. Betapa pentingnya peranan orang-orang baik yang mau berbuat
untuk masyarakat yang harmonis dan beretika.
Mungkin saat ini kita tak mampu berbuat leluasa untuk
mengajak masyarakat ke arah perubahan yang lebih baik. Tapi jika kita selalu
merasa tidak mampu lantas kapan kita mampu.
Mulai dari hal terkecil yang bisa kita lakukan tanpa keluh
kesah. Kita mulai dengan memperbaiki akhlak kita, keluarga kita, teman-teman
kita. Dan selanjutnya orang lain.
Saudaraku yang dirahamati Allah SWT.
Betapa malangnya ibu penjual tadi. Ia mengumpulkan hasil
penjualannya dari hari ke hari. Dan disaat yang sungguh tak terduga. Ia harus
kehilangan apa yang sudah ia kumpulkan selama ini.
Bukankan ini memberi nasihat kepada kita agar mampu
mengikhlaskan apa yang telah kita usahakan. Bagaimana menjadikan sesuatu yang hilang, sebetulnya tidak hilang karena kita anggap sebagai sedekah. Tentunya hanya Allah lah yang akan membalas kebaikan kita tersebut. Sama seperti kita berdakwah. Kita
wajib menuntut ilmu sebagai bekal kita. Dan suatu saat kau harus memberikan
ilmu itu dengan ikhlas. Ilmu yang kita berikan tak akan hilang. Karena ia merupakan bentuk sedekah kita untuk orang lain. Karena ada hak orang lain yang harus memperolehnya.
Dan pelajaran yang selanjutnya adalah sifat bijak yang dimiliki Ibu kita.
Dan pelajaran yang selanjutnya adalah sifat bijak yang dimiliki Ibu kita.
Saudaraku yang Allah sayangi.
Ibu adalah sumber kebijaksanaan. Allah menitipkan sifat
rahman-Nya kepada seorang Ibu.
Dalam keadaan apapun. Ibu selalu bisa membuat suasana jauh
lebih rindang.
Jika kita ingin belajar menjadi orang bijak belajarlah dari
Ibu kita. In sya Allah...
Juga pelajaran untuk kita agar berhati-hati dalam keadaan apapun. Meski dalam keadaan sepi atau ramai sekalipun kita tetap waspada. Mintalah perlindungan Allah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar